Cara Cina Membesarkan Pendekar Bisnis Daerah

Namanya Li Ning. Di Cina, perekonomian ke-2 terbesar sejagat itu, nama ini bisa terkait dengan banyak hal yang besar.

Di bidang bisnis, misalnya, Li Ning adalah merek terunggul di sektor industrinya. Di banyak bagian dunia lain, boleh jadi orang mengidentikkan sepatu olah raga dengan Nike atau Adidas. Namun, tidak demikian di Cina.

Hasil riset Horizon Research dan Horizonkey.com menunjukkan, Li Ning mengungguli kedua merek internasional tersebut dalam loyalitas merek — dan dengan margin yang cukup lebar pula. Pada 2003, konsumen yang mengaku fanatik terhadap merek lokal yang satu ini mencapai 53,4%, jauh di atas Nike (39,8%) ataupun Adidas (39,1%).

Di bidang olah raga, Li Ning adalah seorang pahlawan. Mulai berlatih sejak usia 8 tahun, Li menyabet 6 dari 7 medali dalam The Sixth World Cup Gymnastic Competition. Tak heranlah, pada 1982 itu, dalam usia yang belum genap 19 tahun, dia mendapat julukan “Pangeran Senam.”

Dan julukan tersebut tak berlebihan. Dua tahun kemudian, pada Olimpiade Los Angeles, kelahiran Liuzhou, Guanxi, 8 September 1963, ini merebut 6 medali — tiga emas, dua perak, dan satu perunggu. Prestasi ini membangkitkan semangat Cina yang lama memboikot Olimpiade sebagai protes terhadap keikutsertaan Taiwan.

Setelah itu, karier Li yang telah mengantongi 100 lebih medali di lantai senam memang menurun. Pada Kejuaraan Dunia 1987, dia hanya kebagian satu medali perak. Dia bahkan tak menghasilkan satu medali pun pada Olimpiade Seoul 1988.

Kendati demikian, Li tak pernah bersedia jadi seorang pecundang. Pensiun sebagai atlet, dia terjun ke dunia bisnis — bergabung dengan Jianlibao Group sebagai asisten general manager perusahaan minuman yang bermarkas di Guangdong itu. Padahal, waktu itu, otoritas olah raga Beijing memintanya jadi pelatih nasional. Beberapa negara maju menawarinya gaji besar buat jadi pelatih. Selain itu, sejumlah organisasi di provinsi kelahirannya, Guangxi, meminangnya untuk jadi ketua.

Li menolak semua tawaran empuk tersebut. Mungkin karena yang paling terpateri di benaknya selama 17 tahun kariernya di lantai senam adalah kegagalan yang menyakitkan di Olimpiade Seoul. Dia sangat menyesal karena di Negeri Ginseng itu telah mengecewakan bangsanya.

Keputusan Li masuk ke dunia yang belum pernah dirambahnya membuat banyak orang tercengang. Keberanian Li Jingwei, GM Jianlibao, merekrut mantan atlet yang tak berpengalaman di dunia bisnis itu menuai banyak kritik pula.

Akan tetapi, Li Ning bermental juara. Dia ingat betul, hanya tiga bulan setelah kegagalannya di Seoul, ribuan fans berkumpul untuk memberikan penghormatan kepadanya. Dukungan moral ini telah cukup membuatnya tegar menempuh jalan yang sama sekali baru, bahkan hampir tak pernah dirambah seorang mantan atlet.

Obsesi utama Li sebenarnya bukanlah bisnis. Dia ingin membangun sekolah senam guna membantu melahirkan bintang-bintang Cina masa depan. Namun dia menyadari, tanpa dukungan fulus, obsesinya hanya akan tinggal impian kosong. Sebab itu, dia berupaya mengumpulkan uang yang cukup banyak dulu, baru kemudian mewujudkan impian besarnya.

Buat menghapus keraguan banyak orang tentang komitmennya di jalur karier yang sama sekali berbeda itu — juga untuk meningkatkan keteguhan hatinya sendiri — Li memboyong kedua orang tuanya ke Sanshui, sebuah kota dengan populasi kurang dari 50 ribu yang jadi markas Jianlibao.

Di tahun-tahun awal itu, Li mendapat banyak gemblengan dari para profesional Jianlibao, termasuk Li Jingwei. Sambil belajar manajemen, administrasi, serta keterampilan bisnis praktis lainnya, Li bekerja keras mempromosikan minuman olah raga Jianlibao.

Lalu, datanglah peluang besar yang ditunggu-tunggu: Beijing jadi tuan rumah Asian Games 1990. Event olah raga ini membulatkan tekadnya melebarkan sayap bisnis ke pakaian olah raga.

Pada awal 1989, Li sudah merancang konsep untuk masuk ke bisnis pakaian olah raga. Waktu itu, dia belum punya sarana produksi ataupun merek. Namun, dari banyaknya perusahaan Asia yang berebut untuk jadi sponsor Asian Games, dia bisa membayangkan gemuknya bisnis yang satu itu. Bagaimana tidak. Sebuah perusahaan pakaian olah raga Korea Selatan, misalnya, menawarkan US$ 4 juta (sekitar 23 juta yuan) untuk jadi penyedia pakaian seragam pembawa obor event olah raga tersebut.

Li tertarik mencoba peruntungannya. Li sadar, dia belum punya nama dan para pesaing yang ada telah sangat dikenal di pasar Cina. Maka, dia harus melakukan upaya ekstra.

Li memutuskan menggunakan namanya, Li Ning, sebagai merek sehingga cukup “bunyi” di telinga khalayak domestik. Ini keputusan berani. Tak seperti di Barat, di Cina tak lazim menyandangkan nama sendiri untuk sebuah produk. Selain itu, risikonya juga tinggi — kalau produknya gagal, nama baiknya sebagai seorang Pangeran Senam akan jatuh ke comberan. Dan risiko gagal ini cukup besar. Maklum, dia harus menghadapi nama-nama besar di industri pakaian olah raga.

Setelah siap mempertaruhkan segalanya, Li bertarung untuk jadi penyedia eksklusif seragam pembawa obor. Untuk itu, dia hanya bisa menawarkan sekitar 5 juta yuan, alias tak sampai US$ 1 juta.

Buat memenangi persaingan dengan lawan yang lima kali lebih besar, Li menyampaikan argumen yang menggugah. “Kalau kita memandang pembawaan obor sebagai event terpenting dalam Asian Games dan melihatnya sebagai sebuah cara untuk meningkatkan self-esteem negeri kita,” ujarnya di hadapan Asian Games Organizing Committee, “adalah tidak masuk akal untuk mendandani orang-orang kita dengan pakaian (buatan) asing dengan iklan asing di punggung mereka!”

Upaya ekstra itu membuahkan hasil. Li mendapatkan hak eksklusif jadi sponsor utama Asian Games. Sukses ini memberinya jalan untuk, dalam tempo hanya setahun, mendirikan Li Ning Sports Goods Co., menyelesaikan segala permasalahan yang mendasar — termasuk memilih merek dagang dan membeli peralatan produksi, merekrut orang-orang teknis dan manajerial, lalu menggenjot produksi.

Kampanye iklan yang diluncurkan, minuman dan 10 ribu pakaian olah raga yang dibagikan membuat Li mampu mengibarkan merek yang menyandang namanya, Li Ning. Sejak 1990 itu, ketika tim senam nasional Cina mengenakan seragam berlabel Li Ning, tim nasional dari cabang olah raga lainnya — menembak, renang dan selam — selalu mengenakan Li Ning di pertandingan-pertandingan internasional.

Dukungan tersebut bukan hanya memungkinkan Li membuka butiknya yang ke-12 pada 1991, tapi juga melebarkan sayap ke Hong Kong, Eropa Timur, dan Amerika Serikat pada 1992. Dan dia tak melupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepadanya. Dia juga tak melupakan obsesi utamanya.

Pada 10 Maret 1991, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-28, Li meresmikan sekolah senam dengan 30 anak sebagai murid angkatan pertama. Sebagai kepala sekolah, dia bahkan berupaya meluangkan waktu untuk sekali-sekali memberikan tip-tip praktis kepada anak didiknya.

Selain itu, Li juga melakukan berbagai upaya promosi. Pada 1991, dia menyelenggarakan pemilihan 10 atlet dan pelatih terbaik, menerbitkan buku sejarah senam Cina, mengadakan turnamen senam Li Ning Cup. Zhang Jian, mantan pelatih Li yang Deputi Kepala Biro Pelatihan Atlet SPCSC (KONI-nya Cina) berujar, “Masuknya Li ke dunia bisnis membuat kami kehilangan pelatih yang bagus, tapi sekarang seluruh komunitas olah raga Cina mendapatkan dukungan ekonomi yang kuat.”

Li bahkan mendirikan arena senam di Chatsworth, Kalifornia, pada awal 1990-an. Dedikasinya yang luar biasa dan reputasinya yang menginternasional di olah raga senam ini membuat dia, pada 2000, masuk ke International Gymnastic Hall of Fame.

Di dunia bisnis, Li juga tak menjadi jago kandang. Li Ning adalah pakaian olah raga resmi Tim Bola Basket Spanyol sejak 2002. Pada Agustus 2006, Li Ning yang telah memiliki jaringan 4.100 toko khusus dan 600 gerai (dalam toko lain) di Cina menggandeng Shaquille O’Neall sebagai endorser, menyusul pemain NBA lainnya, Damon Jones dan Chuc Hayes.

Li agaknya sadar, buat menembus pasar internasional dia memerlukan bintang-bintang mancanegara. Untuk meningkatkan citra produk pada Olimpiade Beijing 2008, Li bukan hanya telah mengontrak ad agency Leo Burnett Beijing dan menyediakan anggaran iklan US$ 11 juta — terbesar dalam sejarah bisnis Cina — melainkan juga menggandeng perancang sepatu olah raga kelas dunia buat menciptakan produk high-end, Massimiliano Zago (Italia) dan Paviot Jean-Philippe (Prancis). Jaringan toko khusus Li Ning juga akan ditingkatkan jadi 5.100.

Gebrakan ini membuat saham Li Ning meningkat 4,2% jadi HK$ 8,03. Nilai saham Li Ning di Bursa Efek Hong Kong ini telah meroket tiga kali lipat lebih sejak diluncurkan pada 2004. Dan saham Li Ning, Hu Weitao meramalkan, “Akan melejit lagi nilainya sampai dua kali lebih pada tahun depan.”

Penyebabnya, masih menurut Hu yang Chief Analyst United Securities, perusahaan pialang dari Shenzen, “Akan banyak BUMN Cina yang mengorganisasi kampanye buat mempromosikan Olimpiade. Mereka akan banyak memborong produk buatan dalam negeri; padahal Li Ning adalah perusahaan perlengkapan olah raga terbesar Cina.”

Dibanding BUMN dan BUMD, perusahaan swasta seperti Li Ning memang tak banyak menerima dukungan finansial, misalnya dalam bentuk pinjaman bersubsidi dari bank-bank besar yang masih dikuasai pemerintah. Namun, dukungan pemerintah tetap ada — setidaknya dalam bentuk infrastruktur yang lebih dari sekadar memadai dan iklim investasi yang lumayan kondusif. Sejak membuka diri secara ekonomi, Beijing memang terus memperbaiki birokrasinya. Korupsi ditindak keras, perizinan usaha dipermudah, sistem perpajakan disederhanakan.

Iklim investasi yang kondusif inilah agaknya yang memungkinkan lahirnya bisnis swasta yang cukup besar, termasuk dari kalangan yang tak kelewat lazim seperti Li Ning. Dan karena tak dimanja dengan subsidi, bisnis swasta yang lahir dari kewirauasahaan murni ini umumnya lebih sehat ketimbang jelmaan BUMN atau BUMD.

Ambil contoh Minsheng Banking Group. Satu-satunya bank swasta ini membukukan kredit macet (nonperforming loan) terendah di antara bank-bank Cina — pada Juni 2005 hanya 1,44% dari outstanding loan.

Mereka pun lebih gesit. Di industri komponen otomotif, Wanxiang Group yang bermarkas di Hangzhou bisa berkibar jadi yang terbesar. Sementara itu, Geely Automobile Holding menjadi perusahaan asli Cina kedua terbesar dan pertama yang berhasil mengekspor ke mancanegara. Di industri baru, para wirausaha Cina mampu melahirkan portal Internet Sina.com, NetEase Services, Sohu.com, dan perusahaan online gaming Shanda Interactive Entertainment.

Contoh lain kegesitan para pendekar bisnis swasta Cina adalah Mengniu. Didirikan Niu Gensheng dan beberapa kolega dengan modal US$ 12.600 pada 1999, perusahaan susu yang bermarkas di Mongolia Dalam ini — secara harfiah arti kata Mengniu adalah “Sapi Mongolia” — berhasil menangguk laba US$ 38,5 juta dari penjualan US$ 871 juta pada 2005. Ketika meluncurkan sahamnya di Bursa Efek Hong Kong, mereka berhasil meraup dana segar US$ 108 juta, termasuk dari sejumlah investor kelas dunia seperti Fidelity Investment, Dreyfus dan ING.

Walau besar di BUMN yang lamban — Niu Gensheng tumbuh di lingkungan Yili Dairy, BUMN tempat ayahnya mengabdi selama 38 tahun dan dia sendiri bekerja selama 17 tahun sebelum terdepak dari kursinya sebagai vice president — Niu piawai memainkan jurus pemasaran yang agresif. Ketika Cina hendak mengirim astronot, misalnya, dia menjadikan Mengniu “penyedia resmi” produk susu buat Letnan Kolonel Yang Lingwei selama latihan berbulan-bulan. Maka, ketika sang Astronot dengan selamat mendarat di padang rumput Mongolia pada 15 Oktober 2003, Mengniu bisa memanfaatkan momen yang membanggakan itu untuk mengibarkan nama perusahaan.

Hanya beberapa hari setelah pendaratan tersebut, Mengniu meluncurkan kampenye iklan yang menampilkan ratusan lelaki, perempuan dan anak-anak dengan kostum astronot dan meminum susu. Kampanye iklan “Mengniu, susu buat para astronot” ini diteruskan sampai sekarang — bahkan lebih dari itu.

Buat mengibarkan Suan Suan, produk minuman berbasis yoghurt, Mengniu mensponsori Super Voice Girl, reality show lokal mirip American Idol tetapi khusus cewek. “It’s a huge hit tying in with the TV program,” ujar Tom Doctoroff, CEO J. Walter Thompson Greater China, “They’ve brought a soft-drink buzz into yoghurt targeted at teenage girls.”

Lebih dari itu, Mengniu juga melakukan berbagai upaya peningkatan kualitas dan inovasi. Di markas perusahaan yang terletak di kawasan pertanian subur 50 km dari Hohhot, ibu kota Mongolia Dalam, para insinyur Mengniu memonitor setiap lini produksi melalui layar kompoter selebar dua meter. Di laboratorium, para peneliti sibuk mengembangkan formula yoghurt mutakhir. Inventori di gudang-gudang Mengniu dimasukkan dan dikeluarkan dengan forklift robotik yang boleh dibilang tak memerlukan intervensi manusia.

Di lahan percobaan beberapa kilometer dari kantor perusahaan, Mengniu memberi pakan sapi-sapi yang ada dengan 12 varietas rerumputan, termasuk Canadian alfalfa violet flower dan Brazilian bamboo. Di fasilitas penelitian yang mirip spa itu, sapi-sapi dimanja dengan musik lembut ketika diperah susunya dengan mesin pemerah robotik. Sapi yang bahagia, mereka yakin, akan menghasilkan lebih banyak susu. Dan produksi susu yang lebih tinggi akan meningkatkan shareholder value.

Dari mana Mengniu — juga Li Ning, Minsheng, Wanxiang, Geely — mendapatkan orang-orang yang mampu melakukan terobosan kreatif seperti itu?

Gampang ditebak: dari sistem pendidikan domestik yang setiap tahun melahirkan ratusan ribu insinyur dan sarjana sains berkualitas. Sistem pendidikan bagus yang tentunya mahal ini, seperti di kebanyakan negara berkembang, hanya dapat dikembangkan pemerintah. Demikian pula pembangunan (infrastruktur) di seluruh negeri yang membuat anak-anak muda berbakat itu tak segan bekerja di daerah — yang terpencil sekali pun — hanya bisa dilakukan pemerintah.

Dengan dua bantuan pemerintah itu, bisnis di daerah akan maju walau subsidi keuangan tak diberikan. Apalagi, dalam beberapa hal subsisi keuangan justru kontraproduktif karena rawan penyelewengan dan membuat sejumlah pengusaha jadi manja.

Riset: Asep Rohimat

Category:

0 komentar:

Posting Komentar